Hilangnya perikemanusiaan dan perikeadilan serta dugaan DPR sengaja membenturkan masa aksi dengan aparat keamanan
Peristiwa tragis pada 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online terlindas kendaraan taktis barakuda milik Brimob saat aksi demonstrasi, adalah tragedi kemanusiaan yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan cerminan kegagalan negara dalam menjamin keselamatan rakyatnya, terutama dalam ruang publik yang seharusnya menjadi wadah penyampaian aspirasi secara damai.
Secara konstitusional, hak hidup dan rasa aman dijamin dalam Pasal 28A dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, sementara hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Maka, setiap tindakan represif yang menimbulkan korban dalam sebuah demonstrasi merupakan bentuk pelanggaran konstitusi dan pengkhianatan terhadap prinsip negara hukum.
Dari sisi hukum ketenagakerjaan, Pasal 86 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap pekerja berhak atas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Meski ojek online sering dianggap sebagai pekerja informal, negara tetap memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi hak dasar mereka, terlebih ketika korban jatuh bukan di ruang kerja biasa, melainkan dalam peristiwa yang melibatkan aparat negara.
Lebih jauh, tragedi ini menimbulkan dugaan kuat bahwa terdapat kelalaian bahkan kesengajaan politik dari lembaga negara. Banyak pihak menilai bahwa DPR sebagai representasi rakyat justru tidak hadir di lokasi saat aksi berlangsung. Absennya DPR pada momentum krusial tersebut memperkuat dugaan bahwa *demonstrasi sengaja dibiarkan berbenturan dengan aparat keamanan. Dengan demikian, aparat kepolisian terkesan dijadikan “tameng” untuk meredam suara rakyat, sementara para wakil rakyat berlindung dalam absennya kehadiran. Jika benar demikian, maka DPR telah gagal menjalankan fungsi representatif dan moralnya sebagai penyambung lidah rakyat.
Aparat kepolisian, khususnya Brimob, seharusnya menegakkan prinsip profesionalitas, akuntabilitas, dan penghormatan HAM. Namun yang terjadi justru penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang berujung pada hilangnya nyawa. Padahal, standar internasional melalui Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (1990) menegaskan bahwa aparat hanya boleh menggunakan kekuatan secara proporsional, tidak membahayakan warga sipil, dan selalu mengedepankan keselamatan manusia.
Tragedi ini adalah luka kolektif. Ia menyadarkan kita bahwa negara belum sepenuhnya hadir melindungi rakyatnya, bahkan terkadang justru menjadi pihak yang menimbulkan ancaman. Kehilangan nyawa seorang pengemudi ojek online bukan hanya kehilangan bagi keluarganya, melainkan juga bagi masyarakat luas yang menyaksikan bagaimana nyawa rakyat kecil begitu murah di hadapan kekuasaan.
Akhirnya, tragedi ojol terlindas barakuda Brimob dalam aksi demonstrasi 28 Agustus 2025 harus dijadikan momentum untuk:
1. Mengusut tuntas secara transparan penyebab tragedi dan pihak yang bertanggung jawab, baik dari aparat maupun kemungkinan kelalaian DPR.
2. Memastikan akuntabilitas aparat kepolisian, dengan mengedepankan standar HAM dalam setiap pengamanan aksi.
3. Menuntut DPR hadir secara langsung dalam setiap aksi aspirasi rakyat, bukan justru menghilang dan membiarkan benturan terjadi.
Semoga korban mendapatkan keadilan, keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, dan tragedi ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati hanya dapat hidup jika negara berdiri di sisi rakyat, bukan menindasnya.
Ditulis oleh:
Nur Iqmal Ramadani, S.H.
Komentar
Posting Komentar